SISTEM PELAPISAN SOSIAL (KASTA) DI BALI
Masyarakat Bali Hindu memang terbagi ke dalam pelapisan
sosial yang dipengaruhi oleh sistem nilai yang tiga, yaitu utama, madya dan
nista. Kasta utama atau tertinggi adalah golongan Brahmana, kasta Madya adalah
golongan Ksatrya dan kasta nista adalah golongan Waisya. Selain itu masih ada
golongan yang dianggap paling rendah atau tidak berkasta yaitu golongan Sudra,
sering juga mereka disebut jaba wangsa (tidak
berkasta). Dari kekuatan sosial kekerabatannya dapat pula dibedakan atas klen pande, pasek,
buganggadan sebagainya.
Sistem Kasta dalam Stratifikasi Sosial
Sistem
lapisan sosial yang tertutup dengan jelas dapat dilihat dalam masyarakat
India. Sistem pelapisan di India sangat kaku dan menjelma dalam bentuk
kasta. Secara umum, kasta di India mempunyai ciri-ciri tertentu, yaitu:
a.
Keanggotaan pada kasta, diperoleh karena warisan atau kelahiran. Dengan
kata lain, anak yang lahir akan memperoleh kedudukan dari orang tuanya.
b.
Keanggotaan yang diwariskan, berlaku untuk seumur hidup. Oleh karena itu,
seseorang tidak mungkin mengubah kedudukannya, kecuali apabila ia dikeluarkan
dari kastanya.
c.
Perkawinan bersifat endogami, artinya seseorang harus menikah dengan orang
yang berada dalam satu kasta.
d. Hubungan
dengan kelompok-kelompok sosial lainnya bersifat terbatas.
e. Adanya
kesadaran pada keanggotaan suatu kasta tertentu. Hal ini terlihat nyata
dari nama kasta, identifikasi anggota pada kasta, penyesuaian diri
terhadap norma-norma yang berlaku dalam kasta yang bersangkutan, dan
lain-lain.
f. Kasta
terikat oleh kedudukan yang secara tradisional telah ditetapkan.
g. Prestise
suatu kasta benar-benar diperhatikan.
Sistem kasta
di India telah ada sejak berabad-abad yang lampau. Istilah kasta dalam
bahasa India adalah ”yati”, sedangkan sistemnya disebut ”varna”. Menurut
kitab Reg-Wedha, dalam masyarakat India Kuno terdapat empat varna yang
tersusun atas Brahmana, Kesatria, Waisya, dan Sudra. Kasta Brahmana terdiri
atas pendeta-pendeta yang dipandang sebagai lapisan tertinggi.
Kesatriamerupakan kasta golongan bangsawan dan tentara. Waisya terdiri atas
kasta golongan pedagang, sedangkan Sudra terdiri atas orang-orang biasa
atau rakyat jelata. Golongan yang tidak berkasta, tidak masuk dalam sistem
varna dan disebut golongan Paria.
Suatu sistem
stratifikasi tertutup dalam batas-batas tertentu, juga dijumpai pada
masyarakat Bali. Seperti halnya masyarakat India, masyarakat Bali pun
terbagi dalam empat lapisan sesuai dengan kitab suci orang Bali yaitu
Brahmana, Kesatria, Waisya, dan Sudra. Ketiga lapisan pertama biasa disebut
”triwangsa”, sedangkan lapisan terakhir disebut ”jaba”. Keempat lapisan
tersebut terbagi lagi dalam lapisan-lapisan khusus, yang biasanya diketahui
dari gelar yang disandang. Gelar-gelar tersebut diwariskan menurut garis
keturunan laki-laki yang antara lain Ida Bagus (Brahmana), Tjokorda, Dewa,
Ngahan (Kesatria), I Gusti, Gusti (Waisya), Pande, Kbon, dan Pasek (Sudra).
Walaupun
gelar-gelar tersebut tidak memisahkan golongan-golongan secara ketat, akan
tetapi sangat penting bagi sopan santun pergaulan. Selain itu, hukum adat
juga menetapkan hak-hak bagi si pemakai gelar, misalnya dalam memakai
tanda-tanda, perhiasan, pakaian tertentu, dan lain-lain. Kehidupan sistem
kasta di Bali tersebut umumnya tampak jelas dalam hubungan perkawinan, terutama
seorang gadis dari suatu kasta tertentu pada umumnya dilarang bersuamikan
seseorang dari kasta yang lebih rendah.
Riwayat Kasta dibali dimulai ketika
Bali dipenuhi dengan kerajaan-kerajaan kecil dan Belanda datang mempraktekkan
politik pemecah belah, kasta dibuat dengan nama yang diambilkan dari ajaran
Hindu, Catur Warna. Lama-lama orang Bali pun bingung, yang mana kasta dan yang
mana ajaran Catur Warna. Kesalah-pahaman itu terus berkembang karena memang
sengaja dibuat rancu oleh mereka yang terlanjur “berkasta tinggi”.
Pada masyarakat Hindu di Bali, terjadi kesalahan pahaman kasta dibali dan
kekaburan dalam pemahaman dan pemaknaan warna, kasta, dan wangsa yang
berkepanjangan. Dalam agama Hindu tidak dikenal istilah Kasta. Istilah yang
termuat dalam kitab suci Veda adalah Warna. Apabila kita mengacu pada Kitab
Bhagavadgita, maka yang dimaksud dengan Warna adalah Catur Warna,
yakni pembagian masyarakat menurut Swadharma (profesi) masing-masing orang.
Sementara itu, yang muncul dalam kehidupan masyarakat Bali adalah Wangsa, yaitu
sistem kekeluargaan yang diatur menurut garis keturunan. Wangsa tidak
menunjukkan stratifikasi sosial yang sifatnya vertikal (dalam arti ada satu
Wangsa yang lebih tinggi dari Wangsa yang lain). Namun demikian, tidak dapat
dipungkiri bahwa masih ada warga masyarakat yang memiliki pandangan bahwa ada
suatu Wangsa yang dianggap lebih tinggi daripada Wangsa yang lain. Untuk
merubah pandangan seperti ini memang perlu sosialisasi dan penyamaan persepsi.
Oleh karena itu, lebih baik tidak diperdebatkan lagi.
Yang jadi persoalan, ketika kasta diperkenalkan di Bali di masa penjajahan
itu, nama-nama yang dipakai adalah nama Catur Warna: Brahmana, Kesatria, Wesya,
Sudra. Jadi, pada saat itu semua fungsi Catur Warna diambil alih oleh kasta,
termasuk gelarnya.
Dalam pergaulan sehari-hari pun masyarakat yang berkasta sudra (Jaba) berkedudukan
sangat rendah. Seperti misalnya seorang yang berasal dari kasta sudra harus
menggunakan Sor Singgih Basa, untuk menghormati kasta-kasta yang lebih tinggi.
Kasta itu dibuat dan dikemas sesuai dengan garis keturunan Patrinial,
diantaranya:
Kasta brahmana merupakan kasta yang memiliki kedudukan
tertinggi, dalam generasi kasta brahmana ini biasanya akan selalu ada yang
menjalankan kependetaan. Dalam pelaksanaanya seseorang yang berasal dari kasta
brahmana yang telah menjadi seorang pendeta akan memiliki sisya, dimana
sisya-sisya inilah yang akan memperhatikan kesejahteraan dari pendeta tersebut,
dan dalam pelaksanaan upacara-upacara keagamaan yang dilaksanakan oleh anggota
sisya tersebut dan bersifat upacara besar akan selalu menghadirkan pendeta
tersebut untuk muput upacara tersebut. Dari segi nama seseorang akan diketahui
bahwa dia berasal dari golongan kasta brahmana, biasanya seseorang yang berasal
dari keturunan kasta brahmana ini akan memiliki nama depan “Ida Bagus untuk
anak laki-laki, Ida Ayu untuk anak perempuan, ataupun hanya menggunakan kata
Ida untuk anak laki-laki maupun perempuan”. Dan untuk sebutan tempat tinggalnya
disebut dengan "Griya".
Kasta Ksatriya merupakan kasta yang memiliki posisi yang sangat
penting dalam pemerintahan dan politik tradisional di Bali, karena orang-orang
yang berasal dari kasta ini merupakan keturuna dari Raja-raja di Bali pada
zaman kerajaan. Namun sampai saat ini kekuatan hegemoninya masih cukup kuat,
sehingga terkadang beberapa desa masih merasa abdi dari keturunan Raja
tersebut. Dari segi nama yang berasal dari keturunan kasta ksariya ini akan
menggunakan nama “Anak Agung, Dewa Agung, Tjokorda, dan ada juga yang
menggunakan nama Dewa”. Dan untuk nama tempat tinggalnya disebut dengan "Puri".
Sedangkan Masyarakat yang berasal dari keturunan abdi-abdi kepercayaan Raja,
prajurit utama kerajaan, namun terkadang ada juga yang merupakan keluarga Puri
yang ditempatkan diwilayah lain dan diposisikan agak rendah dari keturunan
asalnya karena melakukan kesalahan sehingga statusnya diturunkan. Dari segi
nama kasta ini menggunakan nama seperti I Gusti Agung, I Gusti Bagus, I Gusti
Ayu, ataupun I Gusti. Dimana untuk penyebutan tempat tinggalnya disebut dengan "Jero".
Kasta Sudra (Jaba) merupakan kasta yang mayoritas di Bali, namun
memiliki kedudukan sosial yang paling rendah, dimana masyarakat yang berasal
dari kasta ini harus berbicara dengan Sor Singgih Basa dengan orang yang
berasal dari kasta yang lebih tinggi atau yang disebut dengan Tri Wangsa -
Brahmana, Ksatria dan Ksatria (yang dianggap Waisya). Sampai saat ini
masyarakat yang berasal dari kasta ini masih menjadi parekan dari golongan Tri
Wangsa. Dari segi nama warga masyarakat dari kasta Sudra akan menggunakan nama
seperti berikut : Wayan, Made, Nyoman dan Ketut. Dan dalam penamaan rumah dari
kasta ini disebut dengan "umah".
KEHIDUPAN KEMASYARAKATAN KASTA
Pada jaman dahulu, kasta sangat mempengaruhi kehidupan masyarakat Hindu di
Bali. Kasta di Bali mulai kental saat masa penjajahan Belanda, sehingga
penjajah dapat dengan leluasa memisahkan raja dengan rakyatnya. Selama
berabad-abad penduduk Bali telah diajari bahwa kasta yang tinggi harus lebih
dihormati, sehingga bila kita berbicara dengan orang yang berkasta tinggi, baik
lebih muda, lebih tua, atau seusia, kita harus menggunakan bahasa bali yang
halus. Tetapi bila bicara dengan orang berkasta rendah, kita tidak diwajibkan
menggunakan bahasa halus.
Misalnya ada seorang ketua organisasi berkasta Waisya, dengan salah seorang
anggotanya berkasta Brahmana. Secara otomatis, ketua organisasi tersebut harus
menggunakan kata-kata yang halus kepada anggotanya yang berkasta brahmana
tersebut. Ada juga kasus seperti seorang guru yang memiliki kasta lebih rendah
dari muridnya. Guru tersebut harus berkata sopan kepada muridnya yang berkasta
tinggi. Walau begitu, bukan berarti sang murid dapat bertindak sewenang-wenang
seperti berkata tidak sopan terhadap gurunya.
Selain perbedaan dalam menggunakan bahasa, kasta juga mempengaruhi tatanan
upacara adat dan agama, seperti pernikahan, dan tempat sembahyang. Pada
Pura-Pura besar (seperti Pura Besakih), semua kasta bisa sembahyang dimana
saja, tetapi pada Pura-Puta tertentu yang lebih kecil, ada pembagian tempat
sembahyang antara satu kasta dengan kasta yang lain, agar tidak tercampur.
KASTA DALAM PERNIKAHAN
Kasta juga sangat sering menjadi pro dan kontra, terutama dalam masalah
pernikahan. Pada jaman dulu, masyarakat Bali tidak diperbolehkan menikah dengan
kasta yang berbeda, layaknya pernikahan beda agama dalam Islam. Seiring
perkembangan jaman, aturan tersebut seharusnya sudah tidak berlaku lagi. Namun
sebagian penduduk Bali masih ada yang mempermasalahkan pernikahan beda kasta.
Pernikahan dengan kasta yg berbeda dibolehkan dengan syarat kasta yang
perempuan harus mengikuti yg laki-laki. Jika kasta perempuan dari kasta yg
tinggi, menikah dng kasta yg lebih rendah, maka kasta si perempuan akan turun
mengikuti suaminya. Begitu juga sebaliknya, Karena di Bali laki-lakilah yg
menjadi ahli waris dari generasi sebelumnya.
Pernikahan beda kasta sendiri ada dua macam, yaitu :
Kasta istri lebih rendah dari kasta suami. Pernikahan beda kasta ini-lah
yang sudah sering terjadi di Bali. Pernikahan semacam ini biasanya memberikan
kebanggan tersendiri bagi keluarga perempuan, karena putri mereka berhasil
mendapatkan pria dari kasta yang lebih tinggi. Dan secara otomatis kasta sang
istri juga akan naik mengikuti kasta suami. Tetapi, sang istri harus siap
mendapatkan perlakuan yang tidak sejajar oleh keluarga suami. Saat upacara
pernikahan, biasanya batenan untuk mempelai wanita diletakan terpisah, atau
dibawah. Bahkan dibeberapa daerah, sang istri harus rela melayani para ipar dan
keluarga suami yang memiliki kasta lebih tinggi. Walaupun jaman sekarang hal
tersebut sudah jarang dilakukan, tapi masih ada beberapa orang yang masih
kental kasta-nya menegakan prinsip tersebut demi menjaga kedudukan
kasta-nya.
Kasta istri tinggi dari kasta suami. Pernikahan beda kasta seperti
ini sangat dihindari oleh penduduk Bali. Karena pihak perempuan biasanya tidak
akan mengijinkan putri mereka menikah dengan lelaki yang memiliki kasta lebih
rendah. Maka dari itu, biasanya pernikahan ini terjadi secara sembunyi-sembunyi
atau biasa disebut sebagai "ngemaling" atau kawin lari sebagai alternatifnya.
Kemudian, perempuan yang menikahi laki-laki yang berkasta lebih rendah akan
mengalami turun kasta mengikuti kasta suaminya, yang disebut sebagai
"nyerod". Menurut kabar, sebagian besar penduduk bali lebih menyukai
dan lebih dapat menerima laki-laki yang bukan orang Bali sebagai menantu, dari
pada menikah dengan laki-laki berkasta lebih rendah, dan mengalami penurunan
kasta.
Sumber:
No comments:
Post a Comment